Selasa, 21 April 2009

hakekat pendidikan

Hakikat Pendidikan Prespektif Islam
Pendidikan dapat dilihat sebagai proses bimbingan, yang mampunyai dasar dan tujuan yang terencana dengan jelas. Keterkaitan dasar sebagai landasan, dan tujuan sebagai target yang akan dicapai, menjadikan proses bimbingan sebagai rangkaian aktivitas yang terbantuk dalam suatu sistem. Pendidikan sebagai sistem yang terangkai oleh komponen-komponen yang satu sama lain saling tergantung, saling membutuhkan, Saling berhubungan dan saling menentukan. Komponen tersebut antara lain dasar dan tujuan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan dan kurikulum, menurut pendekatan filsafat pendidikan Islam, komponen dimaksud terkait erat dengan nilai-nilai ajaran islam.
Nahlawi mengatakan pendidikan Islam menyatu dengan kewajiban umat Islam, ditambahkannya bahwa Islam merupakan syari’at, maka manusia membutuhkan pengalaman, pengembangan dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan itulah yang dimaksud dengan pendidikan Islam. (al-Nahlawi:25). Hal tersebut memberikan gambaran tentang rangkaian pengertian dan ruang lingkupyang mendasari konsep pendidikan Islam. Secara garis besar pendidikan menyangkut tiga faktor utama yaitu:
a. Hakikat penciptaan manusia, yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang taat dan setia
b. Peran dan tanggung jawab manusia sejalan dengan statusnya selaku add Allah, al-Basyr, al-Insan, al-Nas, Bani Adam maupun Khalifah Allah.
c. Tugas utama Rasul yaitu membentuk akhlak yang mulia serta memberi rahmat bagi seluruh alam(rahman li al-alamin).
Dari tiga faktor tersebut yang paling penting dalam pendidikan adalah akhlak, karena akhlak dinilai sebagai puncak dalam pendidikan islam.
Menurut pandangan Islam pendidikan adalah proses, berawal dari saat Allah sebagai Rabbal-‘alamin menciptakan alam ini. Merujuk kepada Al-Qur’an pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Dari situ lahirlah konsep pendidikan dalam Islam yang terdiri dari: Pertama tarbiyah atau pendidikan, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku murabby (pendidik) sekalian alam. Maka tarbiyah mempunyai aktualisasi kepada segenap daya dan potensi jiwa. Kedua Ta’dib sebagai rujukan pernyataan Nabi SAW “Aku dididik oleh Tuhanku maka ia memberikan kepadaku sebaik-baik pendidikan”.(Addabany Rabby, fa ahsana ta’diby). Dapat dikatakan juga bahwa ta’dib sebagai pendidikan yang khusus kepada seseorang (M. Athiyah al-Abasyi,1990:141). Sebagai tolok ukur pendidik menurut filsafat pendidikan Islam, maka Najib al-Attaas membatasi menjadi dasar yaitu: 1) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 2) berhubungan dengan fitrah kejadian manusia, yaitu sebagai pengabdi Allah yang setia, dan 3) kedudukan manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Ketiga Ta’lim secara etimologi , ta’lim berkonotasi pembelajaran, yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Cenderung dipahami sebagai proses bimbingan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik. (Mahmud Yunus,1979)

Hukum Perkawinan

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
BERDASARKAN HUKUM INDONESIA

I.PENDAHULUAN

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?
II.ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.[4] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

III. PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN

A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[5], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[6]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[7] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[8] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[9]

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[10]

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958

1. Permasalahan dalam perkawinan campuran

Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:

a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)

Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.[11] Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.[12]

b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)

Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.[13] Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.[14] Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.[15] Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

2. Anak hasil perkawinan campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :

1. Menjadi warganegara Indonesia

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.[16] Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.[17]

2. Menjadi warganegara asing

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.[18] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[19]

C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru

1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[20]
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[21]

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[22]

2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[23]
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.[24] Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.[25]

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[26] Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[27]

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum[28] pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[29] maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil[30] harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil[31] mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.[32]

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :

“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

IV. KESIMPULAN

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.

Minggu, 29 Maret 2009

CONTOH SURAT SUARA UNTUK DPD RI JAWA TENGAH PEMILU 9 APRIL 2009

CONTOH SURAT SUARA UNTUK DPD RI JAWA TENGAH PEMILU 9 APRIL 2009

Lembaga Studi Baca Tulis Al-qur'an

(LESKA)
Lembaga Study Komprehensif al-Qur’an

Bagi kamu yg belum bisa baca tulis al-Qur’an AYO gabung aja. Apalagi bagi mahasiswa yg gk lulus ujian baca tulis al-Qur’an kami senantiasa membantu sampai anda bisa, Kami tunggu lho….



 PENDAFTARAN
Mulai Tgl 23 Maret – 10 April 2009

 TEMPAT PENDAFTARAN
Sekretariat LESKA
Gedung A Lt 2 FAI-UMS
( KAMA FAI )

 SYARAT PENDAFTARAN
Laki-laki dan Perempuan Membayar:
Infak pendaftaran Rp. 15.000;

 FASILITAS:
 Ilmu
 Iqra’/Juz’amma
 Sertifikat

 PELAKSANAAN KEGIATAN
 Mulai Tanggal 10 April 2009

MATERI WAKTU INFAQ
Paket A ( Iqra’ 1- 6 ) Senin + Jum’at
Jam 15.30 – 16.30 Rp. 150.000; - Bisa
Paket B ( Juz’amma ) Selasa + Kamis
Jam 15.30 – 16.30 Rp. 200.000; - Bisa
Paket C
(Tulis Huruf Arab) Rabu
Jam 15.30 – 16.30

Sabtu
Jam 09.00 – 10.00 Rp. 150.000; - Bisa
Didukung oleh:
 FAKULTAS AGAMA ISLAM
 BEM FAI - UMS


Cp: Uun 085 293 575 865 Agus 085 329 005 430
Safrudin 085 647 340 183

Selasa, 03 Maret 2009

MAhA BesAr ALLAH

AL MUTAKABIR
Maha yang memiliki kebesaran
“Ddan dibumi ini terdapat bagan-bagan yang berdampingan yaitu sebelah-menyebelah dan kebun angur,tanaman-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang,disiram dengan air yang sama.kami melebihkan sebagian yang lain tentang rasanya,sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda tanda-tanda(kebesaran Allah)bagi kaum yang berfikir.”
(Surat Al-Ra’d 13:4 )

HAI maNusIa?

salam kehidupan baru hai manusia

Senin, 02 Februari 2009

Sosok Bpk. Marpuji Calon DPD Jateng

KH. DRS MARPUJI: Pribadi yang Religius dan Pekerja Sosial Sejati



KH. DRS. MARPUJI lahir di Dukuh Jaten, Desa Beku, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten 21 Agustus 1951. Desa di wilayah lereng merapi bagian Timur Laut ini telah menempanya menjadi seorang yang religius, setia kawan dan pekerja sosial sejati. Pribadi yang melekat pada karakter Marpuji ini tercermin pada aktivitas keseharianya, diantaranya tercermin dalam memimpin Universitas Muhammadiyah Surakarta, Muhammmadiyah Jawa Tengah dan anggota pimpinan Majelis DIKTI PP Muhammadiyah.
Pria yang menikah dengan Saudari Siti Zulaichah (1951) dan dikaruniai tiga orang putri ini, yakni Isna Fahmi Uswati (1981), Tazkiyatun Ni’mah (1982), dan Zumana Masriyatur Rahmah (1984) memulai karirnnya sebagai staf redaksi di penerbit Bulan Bintang Jakarta (1978-1979). Namun, pekerjaan itu ia tinggalkan karena diminta pulang oleh sang ibunda tercinta.
Ketika di rumah mendampingi ibundanya, ia diminta Bapak Mohammad Djazman (Rektor) untuk mengabdikan dirinya di Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang kala itu bernama IKIP Muhammadiyah (1979). Sejak saat itu, lulusan Fakultas Syariah program Baccalaureat (1974) dan Doktoral (1978) IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta ini resmi menjadi dosen di IKIP Muhammadiyah (sekarang Universitas Muhammadiyah Surakarta di Fakultas Agama Islam).
Selain sebagai dosen, ia bersama kawan-kawannya, aktif meluangkan waktu untuk mencurahkan perhatiannya kepada komunitas masjid dan jamaah pengajian di berbagai tempat. Perhatiannya terhadap komunitas ini menjangkau tidak hanya di wilayah Jawa Tengah, akan tetapi juga sejumlah daerah di kawasan Indonesia Bagian Timur. Berangkat dari dua aktivitas ini, membuat dia sekarang dikenal sebagai seorang yang religius, setia kawan dan pekerja sosial sejati.
Karena pedulinya terhadap orang yang tidak beruntung ini, alumni Magister Studi Islam bidang keahlian Ekonomi Islam (2006) Universitas Islam Indonesia Jogjakarta ini, ketika memimpin Muhammadiyah Jawa Tengah membentuk tim taskforce untuk Bantuan Kemanusiaan. Ia menugaskan Biro Kerjasama PWM Jateng melalui Mobile Clinic dan Jejaring Kerja Kemanusaiaannya untuk memperhatikan masyarakat miskin, terutama ibu dan anak di pedesaan.
Ketika terjadi banjir di Jawa Tengah, ia memimpin tim taskforce tersebut untuk menolong korban. Ketika terjadi gempa di DIY dan Klaten, ia membangun kerjasama dengan Departemen Kesehatan melalui Menteri Kesehatan Ibu Dr. dr. Siti Fadilah Supari Sp.JK dan Kedutaan Australia, Mr. HE. Bill Farmer untuk membantu korban gempa di Klaten. Sejumlah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah didorong bekerja menolong korban. Bersama Kedutaan Australia melalui program Australia Indonesia Partnership (AIP) melakukan program tanggap bencana dan rekonstruksi pasca bencana dengan membangun satu Rumah Sakit PKU Baru di Gantiwarno dan lima (5) sekolah baru di lima (5) kecamatan di Klaten.
Sebagai pribadi yang ‘abid (ta’at beribadah), wara’ (berhati-hati dalam hal yang subhat), zuhud (tidak berorientasi kepada harta, semata mencari ridha Allah) telah mengukuhkan karakternya sebagai orang yang memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah dalam dirinya. Sifat yang ia miliki ini menjadikan dia layak untuk diberikan amanat/tanggungjawab yang lebih besar dari sekedar kepentingan dirinya (Ma’arif Jamuin).

Kamis, 29 Januari 2009

Pelaksanaan PAUD

http://digilib.umm.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-heritage-2004-fardinisab-2923&node=2705&start=1

Heritage from JIPTUMM / 2004-10-20 07:47:40
SENSITIFITAS GENDER PADA KEGIATAN MENGAJAR GURU: STUDI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI BERBASIS AGAMA ISLAM DI KOTA MALANG



By: Fardini Sabilah, M.Pd.
Research Centre
Created: 2004-10-20 , with 1 file(s).

Keywords: SENSITIFITAS GENDER PADA KEGIATAN MENGAJAR GURU: STUDI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI BERBASIS AGAMA ISLAM DI KOTA MALANG
Subject: Gender
Pemahaman gender dalam dunia pendidikan artinya bahwa guru harus memahami kesamaan peran, jenis pekerjaan, perlakuan, kepada siswanya agar tidak menjadi permasalahan pendidikan dan pembelajaran yang tidak adil gender. Jika hal ini terjadi, semata-mata disebabkan karena belum lengkapnya pemahaman guru terhadap konsep gender. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, maka akan mengakibatkan permasalahan pendidikan yang semakin luas. Beberapa ketimpangan gender dalam pendidikan dan pengajaran nampak pada: jenjang pendidikan guru, perencanaan pengajaran, proses belajar mengajar dikelas, buku ajar, evaluasi dan sebagainya. Dari sejumlah permasalahan yang timbul, masih belum ada atau kurang mendalam adanya studi yang mengamati langsung proses / kegiatan belajar didalam kelas. Kegiatan mengajar guru didalam kelas yang dimaksud disini adalah urutan kegiatan yang dipimpin oleh guru yaitu: (1) membuka pelajaran yang mencakup; berdoa dan salam, bercakap-cakap/ berdiskusi dengan siswa tentang tema atau sub-tema, pemberian tugas, dan praktek langsung, (2) kegiatan inti yang mencakup; pemberian tugas, baik secara individu maupun kelompok, pemberian motivasi, (3) istirahat yang mencakup bermain bebas dan makan-minum, dan (4) penutup yang meliputi; pemberian tugas, bercakap-cakap berdoa dan salam. Oleh karena hal tersebut belum tergambar dengan detail, maka pada penelitian kali ini peneliti memfokuskan studi Sensitivitas Gender pada Kegiatan Mengajar Guru pada Pendidikan Anak Usia Dini yang Berbasis Agama Islam dikota Malang.
Dengan mencermati uraian tersebut, maka rumusan permasalahan utama pada penelitian ini adalah: Apakah dalam kegiatan mengajar guru pada pendidikan anak usia dini berbasis agama Islam di kota Malang menampakkan kesenjangan gender?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan fenomena sosial dalam bidang pendidikan tertentu tanpa menggunakan hipotesis. Pendekatan kualitatif dipilih karena sangat relevan untuk menggali data berupa paparan dan uraian kegiatan mengajar guru oleh guru pada pendidikan prasekolah. Data yang ada kemudian dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian.
Lokasi penelitian ini ditentukan secara purposive atau secara sengaja dipilih karena karakteristik wilayah yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian. Lokasi penelitian adalah Kota Malang sebagai kota pendidikan yang terbagi menjadi lima kecamatan, yaitu kecamatan Klojen, Blimbing, Lowokwaru, Sukun, dan Kedungkandang. Diharapkan kelima kecamatan tersebut akan dapat mewakili dalam menentukan sekolah sebagai subyek. Populasi penelitian ini adalah seluruh Taman Kanak-Kanak berbasis agama Islam yang ada di kota Malang. Adapun sampel ditentukan sebanyak 5 Taman Kanak-Kanak berbasis agama Islam di kota Malang yaitu diambil satu dari tiap-tiap kecamatan. Tehnik pengambilan sampel yang dipakai adalah proporsional yaitu keterwakilan dari tiap-tiap kecamatan dan masing-masing sekolah diambil secara random. Secara keseluruhan jumlah sampel ada 5 sekolah. Penggunaan proportional random sampling dengan pertimbangan (1) dari kelima kecamatan mewakili 5 Taman Kanak-Kanak yang berbasis agama Islam yang dianggap representatif, (2) masing-masing kecamatan mampu menggambarkan secara representatif tentang kegiatan mengajar guru di sekolah.
Selanjutnya tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focus Group Discussion (FGD), Survey, Wawancara mendalam, dan Observasi partisipasif. Sedangkan variabel penelitian yang diamati dalam penelitian ini mencakup:
a) Karakteristik responden: Dewan Pendidikan (Pemkot) Malang, Pengawas, Pengelola (Kepala sekolah), guru, dan siswa.
b) Kegiatan Belajar di kelas: apakah terdapat ketimpangan gender pada kegiatan mengajar guru di kelas.
c) Kebijakan: mencakup peraturan yang dibuat sekolah secara formal dan peraturan daerah dalam bidang pendidikan.
Tehnik analisis data yang dipakai terdiri dari 2 langkah yaitu tehnis analisis selama pengumpulan data dan setelah pengumpulan data. Baik secara deskriptif maupun dengan menggunakan tehnik analisis gender yaitu tehnik analisis Harvard.
Hasil dari penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Masing-masing sekolah telah menggunakan pedoman yang pasti dalam pelaksanaan pembelajaran disekolahnya
2. Kegiatan mengajar guru dikelas selalu dimonitoring baik oleh kepala sekolah maupun oleh ketua yayasan yang sekaligus sebagai pengawas sekolah, sehingga disinilah letak strategi mereka dalam memberikan pemahaman bagaimana seharusnya pembelajaran di TK itu dilakukan, termasuk didalamnya bagaimana proses belajar yang berperspektif gender itu berlangsung
3. Pembelajaran di tingkat TK perlu berperspektif gender dengan catatan masih ada batasan-batasan yang sesuai dengan ajaran agama islam.
4. Upaya-upaya mewujudkan kesetaraan gender adalah sebagai berikut: (a) menyiapkan model pembelajaran dan media selengkapnya, sehingga yang mana yang akan dipilih siswa laki-laki atau perempuan sangat didukung karena apa yang mereka pilih tersebut adalah berdasarkan pilihan mereka sendiri, (b) guru harus siap terhadap materi agar tidak terjadi ketimpangan gender, (c) terdapat penerapan setiap hari pada semua kegiatan disekolah, (d) mengajak anak untuk kreatif, berani dalam bersikap sesuai kemampuan siswa, dan (e) memilah antara hal-hal yang bersifat umum dan hal yang bersifat agamis dan harus diikuti oleh semua siswa tanpa ada perbedaan diantara keduanya.
5. Persepsi dan pendapat guru mengenai siswa laki-laki dan perempuan lebih banyak yang telah mempresentasikan kesetaraan gender. Persepsi dan pendapat yang telah peka gender tersebut adalah dalam hal:
a. Ketajaman panca indra, bahasa, minat terhadap pelajaran, kerjasama dalam pelajaran, mengenal lingkungan, mengemukakan pendapat, berdoa, menjadi ketua kelas, menjawab pertanyaan, memilihkan topic diskusi, memahami guru, memberikan bentuk penugasan, memberikan penghargaan, tata cara berperilaku, antusias terhadap pelajaran, penyikapan terhadap masalah, kesempatan berprestasi dan menempati tempat duduk. Sedangkan persepsi dan pendapat guru yang masih menampakkan ketimpangan gender adalah sebagai berikut:
b. Kemampuan daya cipta dan kreatifitas, kemampuan berpikir matematis, kepekaan perasaan, tingkat kepatuhan, kekuatan jasmani, ketrampilan, kemandirian, potensi sebagai pemimpin dan berpikir secara kritis maupun logis.
6. Kegiatan mengajar guru yang ditemukan pada penelitian ini lebih banyak yang mempresentasikan kesetaraan gender dibandingkan dengan ketimpangan gender. Kegiatan-kegiatan mengajar yang setara gender tersebut adalah:
a. Membuka pelajaran, memberikan kesempatan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan, memilihkan bentuk penugasan, memilihkan topic diskusi dan memberikan hukuman dan memberikan penilaian.
Sedangkan kegiatan-kegiatan mengajar yang cenderung timpang gender tersebut adalah:
b. Kegiatan berbaris, berdoa, mengemukakan pendapat, memberikan pujian dan membangkitkan motivasi.

Pemilihan DPD Jateng

PROSES PENCALONAN KH. DRS. MARPUJI
MAJU CALON DPD WAKIL JAWA TENGAH



1. RAPIMWIL di Pagilaran Batang tanggal 24-25 Nopember 2007 memutuskan: “Muhammadiyah Jawa Tengah menetapkan untuk mengusung calon DPD wakil dari Muhammadiyah Jateng”.

2. RAPIMSUS di UM Magelang 11 Mei 2008 memutuskan: “masing-masing PDM dan ORTOM tingkat Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah mengusulkan bakal calon DPD maksimal 3 orang, yang akan dipilih pada RAPIMSUS berikutnya.

3. RAPIMSUS di kantor PWM 8 Juni 2008 memutuskan: “memilih dan menetapkan KH. DRS. MARPUJI, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah untuk maju calon DPD Pemilu 2009 wakil Muhammadiyah Jawa Tengah”.

4. Instruksi PWM Jawa Tengah No. 190/INS/II.0/A/2008 berisi tentang: “kewajiban jajaran Pimpinan Persyarikatan untuk mengamankan keputusan RAPIMWIL 24-25 Nopember 2007 di Pagilaran; RAPIMSUS 11 Mei 2008 di UM Magelang; dan RAPIMSUS 8 Juni 2008 di Kantor PWM Jateng.